LAPORAN
PENDAHULUAN Sindrom Gawat Napas (SDN/RDS)
A.
Definisi dan Insiden Penyakit
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang (Mansjoer, 2002).
Sindrom gawat nafas (
respiratory distress syndroma, RDS ) adalah kumpulan gejala yang terdiri dari
dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernafasan besar 60 x/i, sianosis,
merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah epigastrium, suprosternal,
interkostal pada saat inspirasi (Ngatisyah, 2005).
Sindrom distres
pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane
Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).
Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian
pada bayi prematur
adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ).
Sekitar 5 -10% didapatkan pada
bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500
gram (lemons et al,2001).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan
berat badan dan menurun
sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy &
Freeman 2000). Saat ini RDS
didapatkan kurang
dari 6% dari seluruh neonatus.
B.
Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang
bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai
sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual
sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan
untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga
pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut
biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi
prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar
paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam
paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH), pneumonia,aspirasi.
C.
Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan
berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps
pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan
perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun
25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung
90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik,
paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan
edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi
dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi
duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan
pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline
yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium
mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses
penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang
berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering
berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
D.
Manifestasi
Klinis
Berat dan ringannya
gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas
paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala
klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS
disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya
menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi
surfaktan. Gejala klinikal yang timbul iaitu : adanya sesak nafas pada
bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60
x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan
sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan
foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :pertama,
terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua,
bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. ketiga,alveoli yang kolaps
bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan
jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh
thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor
Downe :
|
0
|
1
|
2
|
Frekuensi
Nafas
|
<
60x/menit
|
60-80
x/menit
|
>80x/menit
|
Retraksi
|
Tidak
ada retraksi
|
Retraksi
ringan
|
Retraksi
berat
|
Sianosis
|
Tidak
sianosis
|
Sianosis hilang dengan O2
|
Sianosis menetap walaupun diberi O2
|
Air
Entry
|
Udara
masuk
|
Penurunan
ringan udara masuk
|
|
Merintih
|
Tidak
merintih
|
Dapat
didengar dengan stetoskop
|
Dapat didengar tanpa
alat bantu
|
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
Skor < 4
|
gangguan
pernafasan ringan
|
Skor 4 – 5
|
gangguan pernafasan sedang
|
Skor > 6
|
gangguan
pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
|
E.
Penunjang
/ Diagnostik
Laboratory Evaluation for Respiratory
Distress in the Newborn
Test
|
Indication
|
Blood
culture
|
May
indicate bacteremia Not helpful initially because results may take 48 hours
|
Blood
gas
|
Used
to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or acid/base status if
capillary sampling (capillary sample usually used unless high oxygen
requirement)
|
Blood
glucose
|
Hypoglycemia
can cause or aggravate tachypnea
|
Chest
radiography
|
Used
to differentiate various types of respiratory distress
|
Complete
blood count with differential
|
Leukocytosis
or bandemia indicates stress or infection
|
|
Neutropenia
correlates with bacterial infection
|
|
Low
hemoglobin level shows anemia
|
|
High
hemoglobin level occurs in polycythemia
|
|
Low
platelet level occurs in sepsis
|
Lumbar
puncture
|
If
meningitis is suspected
|
Pulse
oximetry
|
Used
to detect hypoxia and need for oxygen supplementation
|
F.
Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan
Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan
meliputi :
1) Mempertahankan
ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan
keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu
lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit
adekuat.
Penatalaksanaan
secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan
kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi
berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga patensi jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan
kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang
diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan
menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat
gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami
gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut
“Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah
sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan
tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan
kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan
sungkup
Bayi jangan diberi minukm
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika
(ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga
infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C
tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan
nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar
seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila
suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis,
nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau
tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda
perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI
peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai
salah satu cara pemberian minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian
antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2
selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit
bayi dapat dipulangkan
Gangguan nafas ringan
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6
jam berikutnya.
Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk
atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan
tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila
tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian
minuman.
Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara
30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit
RDS adalah:
- Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
- Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan
ginjal dan menurunkan caiaran paru
- Fenobarbital
- Vitamin E menurunkan
produksi radikalbebas oksigen
- Metilksantin ( teofilin
dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian
ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima
penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat
dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi,
tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan )
G.
Pendidikan
Kesehatan
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan
untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya
kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan
indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan
kelahiran bayi resiko tinggi.
H.
Komplikasi
Penyakit
Komplikasi jangka pendek dapat
terjadi : 1. kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran
udara ( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala
klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular :
perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan
oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit
dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka
panjang yang sering terjadi : 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD):
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi. 2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi,
terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya
hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
I.
Asuhan
Keperawatan
Pengkajian
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi
subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus,
apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya
suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas
menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada
bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi
dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah
manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain
berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya
asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis,
diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi
nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan
dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
2) Mekanika usaha
pernafasan
Meningkatnya usaha nafas
ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering
dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke
atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan.
3) Warna kulit/membran
mukosa
Pada keadaan perfusi dan
hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan
kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:
1) Frekuensi jantung dan
tekanan darah
Adanya sinus tachikardi
merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan
atau kelainan fungsi jantung.
2) Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas
nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi
yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya
aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit
kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan
pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
(1) Nail Bed Pressure
( tekan pada kuku)
(2) Blancing Skin Test, caranya
yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan jantung kemudian
tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak
kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.
3)
Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi
serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan
kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.
J.
Diagnosa
Keperawatan
1)
Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada
atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak
efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada
jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat.
3) Tidak
efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang
kurang tepat.
4) Resiko
injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa; O2 dan
CO2 dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu nafas.
5) Resiko
perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi, sekunder dari
situasi krisis pada bayi.
6) Resiko
kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss).
7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya
absorpsi.
K.
Intervensi
Keperawatan
Dx. 1
1)
Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan pola nafas efektif.
KH: - Jalan nafas bersih
- Frekuensi
jantung 100-140 x/i
-
Pernapasan 40-60 x/i
- Takipneu
atau apneu tidak ada
- Sianosis tidak
ada
Intervensi
a.
Posisikan
untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan
leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b.
Hindari
hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c.
Observasi
adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda distres
misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan
mencegah terjadinya distres pernafasan.
d.
Lakukan
penghisapan
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring,
trakea, dan selang endotrakeal.
e.
Penghisapan
selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih
f.
Hindari
penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g.
Observasi
peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h.
Turunkan pengaturan,
ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen
Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
- Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
-
Pasien dapat mempertahankan
jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
-
Pasien bebas dari dispneu
-
Mengeluarkan sekret tanpa
kesulitan
-
Memperlihatkan tingkah laku
mempertahankan jalan nafas
Tindakan
:
Independen
-
Catat perubahan dalam bernafas
dan pola nafasnya
Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat
meningkatkan usaha dalam bernafas
-
Observasi dari penurunan
pengembangan dada dan peningkatan fremitus
Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan
dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
-
Catat karakteristik dari suara
nafas
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati
batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan
lain dari saluran nafas
-
Catat karakteristik dari batuk
Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada
penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang
banyak, tebal dan purulent
-
Pertahankan posisi tubuh/posisi
kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
-
Kaji kemampuan batuk, latihan
nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru
-
Peningkatan oral intake jika
memungkinkan
Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
-
Berikan oksigen, cairan IV ;
tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
-
Berikan therapi aerosol,
ultrasonik nabulasasi
Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan
sekret
-
Berikan fisiotherapi dada
misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi
penggunaan otot-otot pernafasan
-
Berikan bronchodilator misalnya
: aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan
viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi
Diagnosa 3.
Tindakan
:
Independen
-
Kaji status pernafasan, catat
peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan usaha nafas
-
Catat ada tidaknya suara nafas
dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan.
Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi
karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas
-
Kaji adanya cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari
Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir
yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku
dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
-
Observasi adanya somnolen,
confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
-
Berikan istirahat yang cukup
dan nyaman
Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
-
Berikan humidifier oksigen
dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan
tekanan yang sesuai
-
Berikan pencegahan IPPB
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
-
Review X-ray dada
Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
-
Berikan obat-obat jika ada
indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant
Untuk mencegah ARDS
L.
Referensi
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta:
FKUI.: EGC.
Ngatisyah.2005.Perawatan
Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. (2005). Buku kuliah 3: Ilmu kesehatan anak. Jakarta: FK UI.
Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan
Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
Wong. Donna L.
(2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar