Hiperbillirubunemia
- Definisi
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi
bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam
minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat
pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan
32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian
terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis
darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta
bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan.
Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah (Wong,2009). Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek (unconjugated) dan direk ( conjugated ) .
- Etiologi
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
1. Peningkatan produksi
• Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
• Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
• Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
• Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
• Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid)
• Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR
• Kelainan congenital
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.
1. Peningkatan produksi
• Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
• Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
• Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
• Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
• Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid)
• Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR
• Kelainan congenital
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.
- Patofisiologi
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila
terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar
protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan
asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
- Manifestasi klinis
Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Selain itu, gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.Selain itu:
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Selain itu, gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.Selain itu:
♦ Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan
bilirubin indirek).
♦ Anemia
♦ Petekie
♦ Perbesaran lien dan hepar
♦ Perdarahan tertutup
♦ Gangguan nafas
♦ Gangguan sirkulasi
♦ Gangguan saraf
♦ Anemia
♦ Petekie
♦ Perbesaran lien dan hepar
♦ Perdarahan tertutup
♦ Gangguan nafas
♦ Gangguan sirkulasi
♦ Gangguan saraf
- Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai
masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme
bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.
- Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak
akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala
klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap,
letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu (involuntary movements),
kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn akhirnya opistotonus.
- Pemeriksaan diagnostik
1. Bilirubin serum
ü Direct : > 1 mg / dl
ü Indirect : > 10 mg % (BBLR), 12,5
mg % ( cukup bulan).
ü Total : > 12 mg / dl
2. Golongan darah ibu dan bayi à uji
COOMBS
ü Inkompabilitas ABO – Rh
3. Fungsi hati dan test tiroid
sesuai indikasi.
4. Uji serologi terhadap TORCH
5. Hitung IDL dan urine (
mikroskopis dan biakan urine) à indikasi infeksi.
- Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi
dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
- Asuhan Keperawatan
- Pengkajian
1.
Identitas pasien dan keluarga
2. Riwayat
Keperawatan
a. Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat –
obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic
oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
b. Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau Data
Obyektifkter.
Lahir prematur / kurang bulan, riwayat trauma
persalinan, hipoxin dan aspixin
c. Riwayat Post natl
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat
kulit bayi tampak
kuning.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak
Polycythenia, gangguan saluran
cerna dan hati ( hepatitis )
e. Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih saying karena perpisahan, perubahan
peran orang tua
f. Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu Þ bayi yang
ikterus
3. Kebutuhan Sehari – hari
a. Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan
menelan lemah )
sehingga
BB bayi mengalami penurunan.
b.
Eliminasi
Biasanya
bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap dan
tinja
berwarna pucat
c.
Istirahat
Bayi
tampak cengeng dan mudah terbangun
d.
Aktifitas
Bayi
biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus dan mudah
terusik.
e.
Personal hygiene
Kebutuhan
personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu
4.
Pemeriksaan fisik
Keadaan
umum lemah, Ttv tidak stabil terutama suhu tubuh (hipo / hipertemi).
Reflek
hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot ( kejang /
tremor ).
Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan
mengelupas
( skin resh ) bronze bayi syndrome, sclera mara kuning ( kadang–
kadang terjadi kerusakan pada retina ) perubahan
warna urine dan feses.
- Diagnosa Keperawatan
1. Kurang intake cairan dan nutrisi
berhubungan dengan anoreksia.
2. Resiko gangguan tumbuh kembang
sehubungan dengan fase lanjut hiperbilirubinemia.
3. Defisit pengetahuan berhubungan
dengan kurang pengalaman.
4. Resiko gangguan integritas kulit
berhubungan dengan efek fototerapi.
5. Potensial perubahana peran orang
tua berhubungan dengan gangguan interaksi orang tua – bayi karena tindakan
fototerapi.
6. Potensial komplikasi : kern
icterus berhubungan dengan peningkatan bilirubin serum efek dari imatur hepar.
7. Potensial komplikasi :
konjungtivitis berhubungan dengan efek fototerapi.
8. Potensial komplikasi : dehidrasi
berhubungan dengan IWL dan defekasi yang meningkat efek sekunder dari
fototerapi.
9. Potensial komplikasi : distress
pernapasan berhubungan dengan penurunan reflek pernapasan dan opistotonus
- Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan 1 : Kurang
intake cairan dan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
Intervensi :
a. berikan minum sesuai dengan kebutuhan.
b. Karena bayi malas minum, berikan dengan sendok.
c. Berikan minuman per sonde jika minuman tidak bisa diberikan melalui
sendok.
d. Monitor output, urine dan feces.
2. Diagnosa Keperawatan 2 : Resiko
gangguan tumbuh kembang sehubungan dengan fase lanjut hiperbilirubinemia.
Intervensi :
a. lakukan observasi tumbuh kembang
anak sesuai dengan usia.
b. Lakukan monitoring dengan DDST.
c. Persiapkan kelurga dalam menerima anak dengan gangguan tumbuh kembang.
3. Diagnosa keperawatan 3 :Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang
pengalaman.
Intervensi :
a. berikan informasi tentang fisiologi dari penyakit anaknya.
ü Jawab pertanyaan yang dlontarkan oleh orang tua bayi sesuai dengan konsep.
ü Klarifikasi miskonsepsi.
ü Bila perlu sediakan / berikan buku tentang hiperbilirubinemia.
b. ikut sertakan keluarga dalam perawatan anaknya ( dengan jadwal dan waktu
yang telah di tentukan).
4. Diagnosa kepearawatan 4 : Resiko gangguan integritas kulit berhubungan
dengan efek fototerapi.
Intervensi :
a. observasi keadaan kulit tiap 15 menit, catat dan laporkan bila ada rash.
b. Gunakan sabun yang lembut untuk membersihkan dan hindari penggunaan
cairan yang bersifat abrasi.
c. Ubah posisi bayi tiap 1 jam saat terapi.
d. Berikan perlindungan pada daerah genetalia selama terapi, dan jaga
supaya tetap bersih dan kering.
5. Diagnosa Keperawatan 5 : Potensial perubahan peran orang tua berhubungan
dengan gangguan interaksi orang tua – bayi karena tindakan fototerapi.
Intervensi :
a. pertahankan kontak antara anak dengan orang tua, dengan cara libatkan
keluarga dalam perawatan anaknya ( dengan jadwal dan waktu yang telah di
tentukan).
b. Beri penguatan penjelasan fototerapi, alasan intervensi dan rencana
keperawatan.
c. Tunjukkan batasan tugas orang tua dalam perawatan anak sakit dengan
hiperbilirubinemia.
d. Matikan lampu terapi dan lepaskan pelindung mata bayi bila orang tua
berkunjung sesuai periode waktu yang telah dipesankan oleh dokter.
6. Diagnosa keperawatan 6 : Potensial komplikasi : kern icterus berhubungan
dengan peningkatan bilirubin serum efek dari imatur hepar.
Intervensi :
- kenali gejala dini / pencegahan peningkatan icterus.
ü Jika bayi telah terlihat kuning, lakukan kontak dengan sinar matahari pagi
selama 15- 30 menit pada pukul 7 – 8 pagi.
ü Periksa/ monitor kadar bilirubin darah.
ü Berikan intake cairan yang cukup sesuai dengan kebutuhan.
ü Laporkan kepada dokter hasil pemeriksaan bilirubin darah, jika hasilnya 7
mg % atau lebih.
7. Diagnosa keperawatan 7 : Potensial komplikasi : konjungtivitis
berhubungan dengan efek fototerapi.
Intervensi :
a. gunakan pelindung mata pada bayi saat terapi dilakukan.
b. Observasi keadaan mata selama terapi tiap 15 menit.
8. Diagnosa keperawatan 8 : Potensial komplikasi : dehidrasi berhubungan
dengan IWL dan defekasi yang meningkat efek sekunder dari fototerapi.
Intervensi :
a. pertahankan intake cairan.
b. Lanjutkan jadwal pemberian ASI / PASI
c. Monitor intake dan output
d. Lakukan penimbangan berat badan bayi tiap hari tanpa pakaian pada waktu
dan timbangan yang sama.
e. Berikan cairan melalui intra vena jika berat badan turun, suhu naik,
defekasi naik.
f. Monitor suhu tubuh, membran mukosa dan ketegangan fontanela.
9. Diagnosa keperawatan 9 : Potensial komplikasi : distress pernapasan
berhubungan dengan penurunan reflek pernapasan dan opistotonus.
Intervensi :
a. observasi tanda tanda vital,
respiratory rate.
b. Pertahankan pemantauan fungsi
pernapasan bayi.
c. Kolaborasi antibiotika.
- Daftar Pustaka
Bobak (2005). Buku
ajar keperawatn maternitas. Jakarta: EGC.
Carpenito L.J, 1997, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 6,
Jakarta: EGC
Fakultas
Kedokteran UI, 2000, Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid 2, Jakarta: Medi
Aesculapius.
Nagasiyah.(1997).perawatan
anak sakit. Jakarta:
EGC
Wong, Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan
pediatrik. Jakarta: EGC
------.(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC.
Vietha.(2008). Sepsis.
Diperoleh pada tanggal 9 Oktober 2009 dari http://www.pediatrik.com/ilmiah_popular/20060220-luyr3qilmiahpopular.doc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar